KISAH CINTA SI AUTIS DAN CALON BHANTE
Hai, aku Delia. Aku adalah seorang murid SMA. Seperti
manusia biasanya, aku
punya sebuah perasaan sayang pada orang. Tapi perasaanku sekarang telah
terbungkus oleh trauma akibat ditinggalkan oleh orang yang aku paling
sayang,
Jofi.
Jofi
itu adalah kakak kelasku. Dia meninggalkan aku untuk wanita lain setelah
aku
benar-benar menyerahkan perasaanku seutuhnya padanya. Dia menjanjikan
sepasang
cincin pernikahan ketika aku lulus kuliah nanti. Ternyata dia telah
pergi. Jadi biarkan aku menjaga
perasaan ini, menjaga segenap cinta Jofi.
Aku
menjalankan kehidupanku seperti biasa berusaha menghapus bayang-bayang
Jofi
yang tiap hari mengikis hatiku perlahan-lahan. Bersama sahabat-sahabatku
aku
jalani hidupku tanpa Jofi. Aku patut berterima kasih pada salah seorang
sahabatku, Ye. Dia mensuportku terus menerus sehingga aku bisa melupakan
Jofi.
Yeah,
aku berhasil melupakannya. Sekarang aku bagai seorang wanita yang alergi
pada
pria. Tak ada satupun pria yang pernah bisa mengisi hatiku seperti Jofi.
Banyak
sekali yang aku tolak, cowok bawel, cowok cerewet dan menjijikkan
sekalipun.
Kadang
aku merasa aku plin-plan. Aku bertemu dengan Khevyn. Teman sekelasku.
Dia
pendiam dan sangat membuatku kagum. Tetapi akhirnya aku tahu, bahwa dia
adalah
seorang gay. Tidak lebih dari seorang
bajingan berbibir.
Aku
capek setelah sekolah. Kemudian aku pulang ke Kamlay naik bus. Aku
memutar-mutar tas merahku dan handphoneku berdering. Tertera nama Jofi.
“Halo.
Ada apa?”, jawabku malas.
“Kamu
masih ingat aku kan?? Aku ini Jofi…”
“Maaf
tidak ada waktu aku. Sudah dulu ya”
Aku
mematikan handphoneku. Aku sempat deg-degan mendengar suara Jofi
kembali. Tapi
aku keingat dia, aku menjadi sebal kembali. Aku kemudian meremukkan
handphoneku
sampai hancur dan membersihkan serpihan handphoneku dari tanganku.
Aku
kemudian merasa lapar dan memasuki sebuah supermarket membeli lima
bungkus
keripik jengkol. Aku kemudian menaruh lima bungkus keripik jengkol di
atas
kasir dan Bibi Juce tersenyum padaku.
“Ada
apa, Del? Sepertinya mukamu lesu sekai”
“Nggak
apa-apa, Bi”
Aku
ingin membayar keripik itu. Aku gerepe tasku untuk mencari dompetku.
Sial!
Tidak ada! Apakah aku dari tadi tidak tahu bahwa aku tidak membawa
dompet? Aku
kemudian mengeluarkan isi tasku di atas meja kasir. Sekarang di atas
meja kasir
terdapat lima keripik jengkol dan barang-barang dalam tasku. Lipgloss,
bedak padat, eyeliner, mascara, softlens, parfum,
daleman, pil KB, obeng, g-string, dan.
Ups, ada beha tetangga nyangkut juga di tasku!
Ketika
aku sibuk mencari dompetku, aku kemudian melihat seorang pria kecil
berkuping
lebar tersenyum padaku sambil membawa belanjaannya, lima botol Baygon.
Dia
berdiri di belakangku.
“Apakah
lelaki ini bisa duluan membayar?”, tanya Bibi Juce.
Aku
mengangguk dan mempersilahkan lelaki itu membayar duluan. Kemudian aku
mendengar handphoneku berdering. Ah, ternyata handphone lelaki berkuping
lebar
itu. Nada deringnya sama, handphonenya juga sama. Kemudian setelah dia
menutup handphone
itu, dia meletakkannya di meja kasir dan melanjutkan bayarannya.
Kemudian
handphonenya berbunyi lagi. Berisiknya minta ampun. Kepalaku ngilu, gigi
bergemeretak. Sekarang dia mengangkat handphone yang berbeda. Pantes
brisik.
Ada soundsystem lengkap.
“Iya!
Iya! Sebentar lagi ya”, kata lelaki itu.
Dia
kemudian mengambil belanjaannya dan buru-buru pergi. Setelah itu Bibi
Juce
benar-benar mengizinkanku melunasinya besok. Aku kemudian merapikan isi
tasku.
Dan aku naik bus lagi jurusan Kajangan.
Aku
benar-benar lelah. Otakku terasa kram. Handphoneku berdering lagi. Aku
makin
merasa yakin aku akan membakar semua pabrik handphone yang menciptakan
handphone bisa bunyi. Aku mengangkatnya.
“Halo?”,
nadaku ketus.
“….”
“Halo!”,
nadaku naik satu oktaf.
“……..”
“WOY
HALO! HEY! HELLO! IS THERE SOMEBODY THERE! HELLO! ANSWER ME ANSWER
MAMAEN!!”
“Ngg,
apakah ini Inching?”, suara lelaki.
“Bukan.
Delia disini dan nggak ada yang namanya Inching. Situ sopo?”
“Ane Setio”
“Hah
Ana? Suara lu kok kayak cowok?”
“Pernah
belajar bahasa arab ga sih? Ane itu aku!”
“Ohhh,
sorry deh kalo gitu”
“Maap
ya salah sambung. Bye”
Aku
kemudian menggaruk ketekku karena kebingungan. Bodolah. Aku kemudian
pulang.
Handphoneku berdering lagi. Aku menggoreskan kukuku ke layer handphone
itu.
“Halo?”,
suara orang.
“Iya?”
“Maap
ya. Sepertinya hape yang anda pegang sekarang itu punya saya”, ujar
orang itu.
Aku
baru ingat hapeku telah menjadi serpihan dan
menyatu dengan debu di bus yang ku tumpangi. Dan
yang aku ambil kemungkinan punya cowok berkuping itu.
“Oh,
maaf. Eike lupa”, kataku.
“Anterin
ke sini yah. Ke Kaphlyng Real Estate depan Sad Wedding Hall. Ntar saya
tunggu
Anda di sana”
“Mau
dibayar berapa gue?”
“Maunya
brapa?”
“Buka
harga dah lu nya”
“300
rebu”
“Ogah!!
200 aja”
“Oke.
Saya tunggu”
Aku
terpaksa turun dari bus Kajangan menuju bus Kaphlyng. Setelah itu aku
turun di
Sad Wedding Hall. Ada cowok kuping lebar itu menungguku di situ.
“Hai!”,
sapaku sok kenal.
“Anda
yang tak sengaja ngambil hape aku ya??”
“He
eh”
“Ayuk
ke rumah saya dulu. Hape itu punya kerabat saya. Bukan punya saya”
Aku
mengikuti saja lelaki itu karena aku percaya lelaki itu orang baik-baik.
Dia
kemudian mengajakku mengikuti dia. Sekitar 2450 km aku berjalan ke
rumahnya.
Rumahnya mewah sekali. Tercium bau hyo yang sangat mengetarkan diriku
ketika
masuk ke sana. Ada sebuah patung Dewi Kwan Im di tengah-tengah kolam
rumah itu.
Sungguh religius. Aku terkesan sekali. Ketika aku masuk ke rumah itu,
ada
seorang lelaki beralis tebal tersenyum padaku.
“Saya
pemilik handphone itu”, katanya.
“Oh
iya, maaf”, aku menyerahkan handphone itu pada dia.
“Saya
Setio”
“Oh,
Delia”
Kami
saling bertatapan 3600 detik tanpa berkedip. Kemudian aku mengambil obat
tetes
mata yang ada di saku ku dan meneteskannya ke mata. Aku merasa dia
naksir aku.
Tatapan penuh dengan pencerahan Buddha terpancar dari matanya dan
membuat
kelopak mataku terasa lemas.
“Ayo
minum”, kata lelaki berkuping itu.
Aku
duduk di ruang tamu dan duduk di sofa. Ada tiga botol Baygon di atas
meja ruang
tamu.
“Mari
minum”, tawar Inching sambil meminum Baygon yang tadi dia baru saja
beli.
Aku
hanya diam. Setio juga minum Baygon itu sambil tertawa-tertawa bersama
Inching
dan ngobrol. Kemudian mereka pingsan.
Hari-hariku
berubah sekali ketika mengenal Setio. Ternyata dia teman satu sekolahku.
Setio
semakin hari semakin memberikan perhatian lebih padaku. Aku merasa kami
saling
suka. Tanpa aku sadari kalau aku juga sangat menyukai Setio. Aku sungguh
sangat
mengagumi Setio, di hatiku Setio sangat istimewa, apalagi alisnya yang
tebal
dan sikap religiusnya sangat kental. Setio juga dapat membuatku untuk
datang ke
wihara dan memutuskan untuk disucikan. Dalam seminggu Setio dapat
mengirimkanku
tiga rim brosur ajakan untuk bertobat.
Seperti
biasa aku sedang duduk bersama sahabat-sahabatku di basecamp
SMA-ku. Wuiiihhh, basecamp
broo. Ada Ye, Visil, Cofflin, Ghelunks, Juppy. Ye merasa senang hari
ini
karena dia di ajak kencan oleh Kim Jong Woon. Beda dengan Visil, dia
sedih
ditinggalkan oleh lelaki bernama Gikuadrat yang malah enak nyeleweng
sama cewe
lain bernama Jomarudin. Cofflin sedang berkoar-koar tentang perusahaan
kopi
terbarunya yang akan dia beri nama VM (baca: vi em) bersama cowoknya.
Ghelunks
sedang stress memikirkan bagaimana masa depannya karena sebentar lagi
dia akan
dinikahkan. Juppy sedang asik memandang wasiat untuk memerintah Pacitan.
Yeah,
masing-masing sahabatku unik sekali masalahnya. Hal itu ngebuat muka
mereka
jadi abstrak satu sama lain kecuali Ye.
“Del”
Aku
mendongak ke arah orang yang memanggil namaku.
Ah,
Setio. Dia merangkul sebuah jaket dan mengangangkat salah satu alisnya.
Sahabatku semua menyikut aku alhasil tubuhku bergeser tiga meter. Aku
tersipu-sipu malu-malu-tapi-mau.
“I..iya,
Set”, jawabku.
“Aku
mau kita berbicara sebentar. Penting. Hanya kau dan aku”
Ahhh,
aku kemudian mengelus-elus pohon yang tidak tahu dari mana tiba-tiba ada
di
sebelahku.
“Oke
deh. Teman-teman permisi”, kataku.
Temanku
tersenyum mupeng. Aku juga mupeng. Inching juga mupeng. Loh, ada Inching toh?
“Del”,
ucap Setio membuka percakapan.
“I..iya
Set”
“Del,
ada sesuatu yang mau aku ungkapkan”
“Silahkan,
Set”
“Del,
aku... Ngg...”
“Apa
Set”
“Ini...”
“Apaaa?”
“Aku
su... Ngg... su”
“Su?
Susu? Supariyem?”
“Suka...”
Aku! Aku! Plisss... Delia! Say it!
“Suka kamu...”
YES!
“...kalo kamu jadi tukang angkut lilin Wihara. Kamu
bisa kan? Seminggu
sekali kok. Cuma satu dus”
Ngg...
“Bisa
ya?”
“Oh,
oke deh. Satu dus doang kan?”
“Iya,
Del”, senyumnya manis, “Aku tahu dari sahabat-sahabat kamu kalo kamu itu
cewek
paling perkasa. Jadi aku minta tolong. Oh ya, nanti dusnya tiap minggu
ambil di
rumah saya ya”
Aku
mengangguk. Dia tersenyum dan mengelus rambutku kemudian pergi. Aku
memandang
kepergianya terpesona. Ahhh... Tak lama kemudian, aku mengelus kembali
rambutku
yang tadi dielus dia. Ada saos sambel. KURANG AJAR DIA MEPERRR!!
Sudah
empat bulan aku jadi tukang angkut lilin ke wihara. Satu dus sih satu
dus. Tapi
dusnya buat ngebungkus tronton. Alhasil tulang punggungku sekarang
bercabang
tiga. Tapi tidak apa-apa, aku akan sering bertemu Setio. Setio adalah
seorang
yang benar-benar religius. Misalkan dunia ini memiliki 24 jam seharinya,
Setio
memiliki 48 jam seharinya untuk berdoa walaupun endingnya aku nggak tau
gimana
cara Setio nyempilin waktu 24 jam lagi ke satu hari itu.
Aku
juga merasa diriku menjadi sangat bersih sekarang setelah insiden hape
keambil
dan bertemu Setio. Sarang laba-laba di kamarku sedikit berkurang, lumut
di WC
ku punah satu spesies dari beberapa spesies yang ada, dan tentunya
upilku sudah
berwarna hijau sekarang.
Setio
semakin hari semakin perhatian padaku. Dia mengajakku dinner di
sebuah restoran mewah, Italian Steak. Kami masuk ke sana.
Dan duduk di sebuah meja makan romantis pinggir kolam, balon-balon di
kolam dan
permainan piano indah. Ada sepasang lilin pink dan putih tegak berdiri
di
hadapan kami.
“Del,
kamu suka?”, tanyanya tiba-tiba di keheninganku.
“Suka
sekali”, decakku kagum.
“Ini”,
dia menyodorkanku sebuket bunga Edelweiss.
“Buatku?”,
aku tidak menyangka.
“Bukan,
besok bawain ke wihara ya”
“Iya”,
kataku kecewa.
“Del,
aku bawa kembang api. Kamu mau main?”
“Romantisnya”
Setio
mengeluarkan sejumlah kembang api. Dia mengambil satu. Aku juga. Dia
menyakakannya. Kemudian sebuah bunga api besar mekar di langit. Indah
sekali.
Aku sampai meneteskan One Litre of Ilers. Kemudian Setio memegang
tanganku.
Jantungku deg-degan. Senang. Apakah dia akan menembakku?
“Balikin
dong yang itu. Jangan mainin yang ini dulu. Sayang”, kata Setio dengan
muka
yang mau nangis tidak merelakan kepergian kembang api yang aku pegang.
Aku
hanya menyerahkannya dengan pasrah.
“Udah
ya satu aja. Ini buat tahun baru tahun depan lagi”, kata Setio sambil
mengemasi
kembang api yang tadi dia keluarkan.
Kami
kembali duduk. Ada seorang pelayan memberikan kami daftar menu.
“Excuse me, Sir. Here the menu”, kata ntu
weiter.
“Yes yes”, kata Setio.
“If you want to order, you can ask me,
Romunaldo Espresso Mochacino”
“Yes yes”
Aku
melihat-lihat menu. Busyet. Harganya seajubile. Termurah kayaknya aer
kobokan.
Tapi pas aku cek nggak ada air kobokan. Rata-rata harganya 500 ribu per
porsi.
Kabar unggasnya sih katanya sapi-sapi yang akhirnya wafat dalam bentuk steak
ini pas masih idupnya dicebokin
pake emas. Gila.
“Mau mesen apa?”,
tanya Setio “Aku yang traktir”
“Em.. Apa ya? Bener
kamu yang traktir? Nggak apa-apa?”
Setio mengangguk
yakin.
“Ya sudah deh yang
paling murah”, aku menunjuk steak
yang paling murah.
“Jangan dong, kita
kan harus vegetarian. Ingat ga?”
“Oh”, aku terdiam
dan berpikir sejenak “Tapi ini hidangan steak
semua”
“Emang. Tapi apakah
aku menyuruh kamu memilih daging-dagingan? Kamu tahu nggak siapa tahu
sapi yang
kamu makan adalah reinkarnasi dari leluhur kita?”
Setio jadi emosi.
Otomatis aku melirik lagi semua daftar menu. Non daging? Jih, namanya
juga
restoran steak. Gimana sih? Ada juga
air putih, jus-jusan dan cebokan tangan.
“Air putih deh”,
aku mulai malas dengan semua ini.
“Nah, gitu dong”,
kata Setio.
Dalam hatiku, aku
tahu sebenarnya Setio nggak ikhlas nraktir aku. Tahu gitu toh mending
bawa aer
putih rebusan emak di rumah.
Bel sekolah sudah
bunyi, aku girang gembira keluar kelas. DEG. Setio? Apa? Setio bersama
seorang
gadis? Aku menyembunyikan diriku di balik tembok. Aku menatap gadis itu.
Ah,
sial. Si Yosa, atlit gundu yang sudah mengharumkan nama sekolahku
berkali-kali.
Sudah go international segala! Buset.
Boro-boro aku go internasional,
nyentil gundu pake jari aja nggak bisa!
Kini aku bisa
melihat tatapan Setio kepada Yosa. Dalam, hangat, bersahabat dan nafsu
birahi.
Sayangnya aku nggak bisa melihat wajah Yosa. Aku menitikkan sebutir
ingus dan
air mata. Yosa kemudian memegang alis Setio. Ah! Aku tambah cemburu. Aku
tak
kuasa dengan ini! Aku mau pergi saja! Aku kemudian berlari secepatnya.
Secepatnya yang aku bisa. Aku tak peduli siapapun di sampingku! Aku yang
seharusnya memiliki alis Setio duluan! Aku yang harus duluan memegang
alis
Setio, bukan Yosa! Aku terus menangis.
“Del!”
Aku mendengar suara
Setio. Dan aku sadar aku berlari baru sampai kelas sebelah. Dan aku
tepat
berhenti di depan Setio dan Yosa.
“Del”
“Apa?”, kataku
sedih.
“Del, maaf”
“Nggak ada yang
harus kamu jelaskan!”, aku kini menatapnya dalam-dalam.
“Tapi, Del…”, Setio
memajukan tubuhnya.
“SUDAH! CUKUP!”,
aku lebih menatap dia tajam.
“Maaf, itu upilmu
agak keluar”, kata Setio.
“Oh, makasih”,
kataku sambil menjilat upil itu.
“Hai, Del”, sapa
Yose.
Uh, tuh wanita.
Maunya cari perhatian sama Setio biar dipikir ramah. Cuih, nggak zaman.
“Hai”, ucapku
datar.
Aku kemudian pergi
meninggalkan mereka. Tetapi setelah berdiri di dekat tangga, aku kembali
menghadap
belakang untuk melihat mereka. Hatiku terbakar karena kecemburuan
teramat
sangat. Setio sudah berpaling dariku sepertinya. Ah, untuk apa ada
insiden itu?
Aku benci sekali bertemu dia jika akhirnya harus begini. Aku kemudian
meninju
dinding yang aku sandari. Dinding itu retak sedikit. Tidak puas, aku
benturkan
kepalaku. Kepalaku retak sedikit.
Pagi ini aku akan
membawa satu dus lilin ke wihara sekali lagi. Aku sudah merencanakan
untuk
berbicara dengan Setio untuk berhenti bertemu dengan dia lagi dan
berhenti
membawa lilin wihara lagi. Aku sudah menyusun kata-kata dari Kamlay
sehingga
aku kuat untuk berbicara. Syukurlah, supir bus Kamlay mau membantuku
menyusun
kata-kata itu.
DEG. Aku sekarang
berdiri di depan rumah Setio. Aku langkahkan sedikit jempol kakiku
menaiki
tangga yang terlalu suci untukku. Aku tarik nafas dan menghembuskannya
kembali
lewat pantat. Siap. Aku siap. Aku angkat jariku ke arah bel rumah Setio.
Tetapi
pintu terbuka.
“Del?”, Setio yang
membuka pintu.
“…”, aku cukup
terkejut dengan kepala Setio yang sudah plontos.
“Ah, tumben sekali
pagi-pagi begini sudah datang”, sapanya ramah.
“Plontos..eh, ada
apa dengan kepalamu?”
Setio hanya tersenyum
lebar dan najis. Senyum mautnya menggetarkan kelopak mataku seperti
biasa.
“Set…”, kataku
setelah Setio senyum-senyum kurang lebih 3600 detik sebentarnya.
“Ya?”
“Ada yang harus aku
bicarakan”
Setio memasang
wajah ingin tahu. Dia mendekati wajahku dalam jarak semeter.
“Huh. Begini.
Akhir-akhir ini terus mendung. Nggak hujan, tapi juga nggak panas.
Afrika
Selatan saja lagi musim dingin. Lagi ada tanding piala dunia kan di
sana.
Padahal nonton bola serunya pake kacang sama minum kola. Kacang biasanya
sih
kacang tanah saja. Intinya, aku sudah nggak bisa nganterin lilin wihara
lagi”,
kataku.
“K..kenapa?”
“Soalnya, aku nggak
bisa lagi ketemu kamu”
Aku memandangnya
seperti tayangan telenovela Esmeralda.
Dia kemudian menyandarkan dirinya di pintu rumahnya. Aku tahu beban dia
berat
jika tidak melihat aku lagi.
“Del, aku sebentar
lagi akan menjadi bhante”
TERENG! Gantian aku
yang bersandar di lantai. Ke..kenapa? Kenapa mendengar hal itu membuatku
masih
terus ingin melihat dia?
“Tidak bisa kah
kamu terus menjadi bujangan?”, tanyaku lemas.
Setio menggeleng.
Aku mengangguk. Kemudian kami dugem.
“Hah, baiklah”,
kataku.
“Jadi, kamu bisa
kan tetap jadi pengantar lilin? Aku sudah tidak bisa mengantar
lilin-lilin ini
lagi”, kata Setio.
“Kamu memang tidak
pernah mengantar lilin-lilin ini, Setio”
“Jadi, mau kah kamu
tetap mengantar lilin-lilin ini?”
Aku menggeleng.
Setio mengangguk. Kemudian kami dugem.
“Hah, baiklah”,
kata Setio.
“Jadi aku sudah
tidak perlu mengantar lilin-lilin ini lagi?”
Setio menggeleng.
Aku mengangguk. Kemudian kami dugem.
“Set, aku hanya
bisa berdoa kepadamu. Semoga kamu bisa menjadi biksu nanti”
“Terima kasih,
Del”, kata Setio, “Akupun akan mendoakan kamu semoga kamu menjadi
pegulat
sejati”
Aku tak kuasa
berpisah dengan Setio. Ku balik badanku dan menitikkan setetes air mata
dan aku
usap pakai telapak kaki. Angin menerbangkan rambutku diiringi lagu sedih
ala
sinetron-sinetron ibu-ibu kompleks.
Aku pergi mendaki
Gunung Gede bersama teman-temanku. Hanya membutuhkan waktu 15 menit saja
untuk
sampai di puncak dengan helikopter dan 1 detik dengan pintu ajaib
Doraemon.
Tetapi kami lebih memilih dengan jalan kaki selama 7 jam. Ketika sampai
di
Surya Kencana, aku berjalan ke Sala Bintana. Tempat yang sangat banyak
Edelweiss. Aku berjalan sendiri sambil merapatkan jaketku karena dingin.
Aku
juga membawa sambal kacang dan mangga muda untuk ngerujak Edelweiss di
sana
karena kebetulan aku sangat lapar.
Kini di hadapanku
adalah hamparan Edelweiss yang luas. Aku tertegun dan otakku mengflash
back segala sesuatu yang
berhubungan dengan Setio. Aku kemudian mengambil posisi seperti anjing
(kaki
berlutu, tangan menjadi tumpuan) dan mulai menggaruk tanah. Aku
memukul-mukul
tanah sambil menangis.
“Setio bodoh! Setio
bodoh! Kenapa dia tidak menikahiku! Kenapa dia hanya mau menjadi
Bhante!”
Tiba-tiba ada yang
mengaitkan jaket untukku dari belakang. Aku menoleh. Ah, sahabatku,
Naranjuez.
Dia tersenyum.
“Sudah, Del”,
hiburnya.
Aku menangis di
dadanya.
“Kalau kamu mau,
kamu boleh pukul aku sekuat-kuatnya”, kata Naranjuez.
Aku masih emosi dan
kemudian meninju dia. Dia terperosok ke jurang. Kemudian dia manjat lagi
ke
atas dan mendekatiku.
“Del, cinta tidak
harus memiliki”, kata dia penuh wibawa.
Aku mengangguk,
tetapi dia tidak menggeleng. Jadi kami tidak jadi dugem.
“Ini, hapus air
matamu”, kata Naranjuez sambil memberikan tisu toilet.
Aku menghapus air
mataku. Naranjuez membuatku lebih tenang.
“Terima kasih. Aku
lebih tenang sekarang”, kataku.
“Oke, sekarang
keluarkan sambal kacang dan mangga mudamu. Ayuk kita ngerujak”
THE
END
Tidak ada komentar:
Posting Komentar